Kini giliran Josh yg terkaget-kaget sambil melihat bayangan wajahnya di kaca toko dihadapannya. Mencoba melihat tanda yg disebutkan bapak tadi dikeningnya namun tak kelihatan setitikpun.
“Ga usah kaget Josh, bapak itu peramal tua yg biasa berkeliaran di jalan2 Taipei menawarkan jasa utk meramal nasib. Ga usah dihiraukan deh…”
“Gw kagetnya kenapa dia bisa tau orang yg paling gw cintai sdh meninggal. Apa pula itu dendam kekasih 7 generasi?”
“Wah, kalo yg generasi2an itu gw ga tau Josh. Mesti tanya orang2 tua sini. Udah deh, paling dia juga asal nebak. Orang yg kita cintai itu kan ga mesti pacar. Bisa juga orang tua, saudara, atau famili dll.”
Josh hanya diam tak menjawab, sibuk dgn pikirannya sendiri yg berputar melayang entah kemana. Disamping itu, pesanan makanan mereka sudah datang.
Waktu berlalu begitu cepat, apalagi untuk yang sedang kasmaran. Lebih setahun sudah mereka bersama. Sekarang awal musim semi, suasana yg paling ideal utk berlibur. Hua Lien adalah tujuan mereka saat ini, Eva paling suka duduk diatas karang di pantai sambil menikmati deburan ombak. Sedangkan Josh paling suka menikmati wajah Eva yg sedang memandangi laut. Maka waktu satu jam akan berlalu secepat burung camar yg terbang melewati mereka.
“Sebentar ya…” kata Josh sambil berlari ke toko yg berjarak bbrp puluh meter dari garis pantai.
Sesaat kemudian ia kembali sambil membawa kertas lukis putih dan sebatang pensil.
“Jarang-jarang aku bisa melihat wajahmu yg begitu damai saat menatap ombak, ingin kulukis disini agar ga mesti repot2 ke Hua Lien utk memandang wajah secantik itu.”
Eva tersenyum seakan tak percaya, pemuda itu selalu melakukan hal2 kecil yg pasti membuat ia melambung setinggi langit.
“Josh, kamu tau?”
“Tau apa?”
“Kamu sudah membuatku berada di langit ketujuh, jadi nanti kalo aku lupa turun jeput ya sayang”
“Ah hahaha…, tapi jangan bicara dulu ya, ntar ga selesai lukisan pensilnya. Kan kasihan kalo aku mesti nyambung lagi tahun depan.”
Saat hendak pulang dari mengambil lukisan pensil yg selesai dibingkai, mata iseng Josh tanpa sengaja menatap toko souvenir di seberang jalan. Ia lalu menyeberang jalan menuju ke sana, rencananya akan membeli oleh2 utk bbrp teman dikantor. Biarlah Eva menunggu sebentar di lobby hotel. Selesai membayar belanjaannya, tanpa sengaja matanya menangkap sebilah pedang dengan disain yang artistik agak tersembunyi diantara benda2 lain yg dipajang di depannya.
“Itu replika pedang kekasih 7 generasi, legenda yang sudah lama tak terdengar di Tiongkok daratan. Kisah tentang sepasang kekasih yang terkena kutukan untuk terpisah selama 7 kali reinkarnasi tanpa boleh bersama sekalipun.”
Entah kenapa saat memegangnya Josh merasakan aliran perasaan aneh, ada rasa familiar saat menyentuh benda tersebut. Rasa yang bercampur antara sedih, cinta, dan dendam. Seperti ada kekosongan yang mendadak mengisi seluruh ruang hatinya. Seperti airmata tertahan dan emosi ribuan tahun yang hendak menerobos keluar. Rasa ingin memiliki yang begitu kuat memaksa dia merogoh dompetnya dan mengeluarkan lembaran seribu dollar Taiwan.
Ini hari kedua Josh masuk kerja setelah menikmati liburan musim semi bersama Eva. Hari yg lumayan menguras stamina sehingga malamnya Josh hanya bisa terduduk di sofa kamarnya kelelahan sambil menikmati siaran TV. Ia teringat replika pedang yg pernah dibelinya di Hua Lien kemarin. Pedang itu dikeluarkan dari koper lalu diamati dengan penuh kekaguman. Sebuah pedang pendek bermata dua dgn kaligrafi Tionghoa yang terukir indah di badan pedang,
Tujuh cinta menghampiri,
Tujuh kematian mengakhiri,
Dua kekasih tujuh tragedi…,
Tiba2 dering ponsel membuyarkan perhatiannya pada puisi di mata pedang yang baru terbaca sebagian itu.
“Temani aku makan malam ya Josh, resto Vegy yg di Linsen Road.” Suara renyah Eva dari seberang sana menghilangkan separuh rasa lelah di tubuhnya.
“Lho, biasa kan favoritnya yang di Jin Hua street. Kok bisa ke Linsen Road?”
“Kata Fenny daging barbequenya enak loh, pengen nyoba sekalian ganti suasana. Lagian jam segini di sekitar CKS Memorial Hall kan agak macet…”
Kota Taipei adalah surga bagi vegetarian, banyak bertebaran resto vegetarian disana dan kebanyakan tidak mahal. Termasuk salah satu kota dgn resto vegetarian yg terbaik di dunia. Kebanyakan restoran vegetarian di sana model bufet, memilih makanan kita dan membayarnya berdasarkan berat timbangannya. Setiap malam kita bahkan bisa menemukan sampai 30 menu hidangan yg cukup menggoda mata maupun lidah. Kecuali Sup dan rebusan (misalnya sup ayam palsu yg dicampur ginseng) harga semua makanan dihitung berdasarkan berat. Dan utk penikmat makanan seperti Josh dan Eva, 30 variasi hidangan cukup menjauhkan mereka dari kata “bosan”. Dasarnya tukang keluyuran, walaupun cape ia tetap menyanggupi ajakan Eva. Dan jadilah mereka menyusuri sepanjang jalan menuju ke resto Chuansheng di Linsen road.
Persis di depan Chuansheng, Josh memberhentikan mobilnya dan turun membukakan pintu utk Eva. Saat pintu mobil baru ditutup sebuah suara menggelegar terdengar dari toko emas diseberang, Josh yg baru hendak menggandeng tangan Eva kaget dan menatap ke seberang. Ternyata ada perampokan bersenjata di toko emas seberang. Beberapa detik kemudian terdengar juga teriakan dari orang2 di depan pintu restoran. Dengan bingung ia mencoba meraih tangan Eva, maksudnya utk diajak berlindung ke dalam restoran utk menghindari peluru nyasar. Tapi tangannya meraih tempat kosong, dalam kagetnya ia menoleh dan lebih kaget lagi melihat Eva tergeletak di trotoar dgn darah mengalir dari bagian kepalanya membasahi jalan. Seribu dugaan berlalu-lalang dlm pikirannya, tanpa ayal lagi ia segera membopong Eva dibantu beberapa orang ke dalam mobil. Josh melaju bagai dikejar setan menuju rumah sakit terdekat.
Ah… ini seperti dejavu, ataukah ini memang dejavu? Ia berlari membopong tubuh Eva disepanjang lorong menuju Unit Gawat darurat, persis seperti Michelle dulu. Hanya saja sekarang kondisinya berbeda. Personil rumah sakit segera bertindak memberikan pertolongan. Josh duduk merenung di depan kamar ICU, matanya menatap tanpa arah, tiada fokus. Rasa bersalah menghinggapi dirinya, apakah ia memang ditakdirkan utk membopong kekasihnya menuju ruang ICU? Ini sudah yang kedua kali. Ia bahkan ragu utk berdoa meminta Tuhan menolong Eva yg kepalanya tertembus peluru nyasar dan sedang bergelut dengan maut di ruang sana. Ia hanya duduk diam seakan seluruh dunia berhenti berputar. Akhirnya terucap juga doa dalam hati kepada Sang Pemberi nyawa…
“Tuhan jangan tarik dia kesisimu, aku tak akan sanggup. Bukankah Engkau tidak akan memberikan cobaan melebihi kesanggupan seseorang…? Jangan tarik dia…”
Sebuah sapaan lembut menyadarkan dia dari lamunan, ternyata dokter yg menangani Eva sudah berdiri disampingnya.
“Maaf apakah anda suami atau sanak saudaranya?”
“Saya teman pria-nya dok…”
“Oh.., begini, Peluru yg dikepala sudah berhasil di keluarkan namun kondisi teman wanita anda masih koma. Kami tetap akan berusaha agar pasien bisa sadar secepatnya.”
Papa dan mamanya Eva baru tiba bersama adik lelakinya krn ditelepon oleh Josh tadi. Mendengar bahwa Eva koma, mamanya hampir terjatuh lemas kalau tak keburu di pegang oleh anak lelakinya.
Ini sudah malam yang ke 28 sejak kejadian itu, tapi Eva masih berada di dunia mimpi. Ia belum pernah sekalipun sadar dari koma selama 28 hari. Setiap pulang kerja Josh selalu pergi ke rumah sakit mendampingi Eva. Ia menyanyikan lagu kesukaan gadis itu di telinganya dengan suara lembut, membacakan cerita kesukaannya, membisikkan cinta dan rindu ditelinganya. Hanya dengan satu harapan agar Eva tersadar dari koma. Agar mereka bisa bersama lagi menikmati keindahan Xinyi District yg gemerlapan dilihat dari atas Taipei 101, agar ia bisa melukis wajah Eva yg terpesona memandang ombak yg berkejaran di pantai. Tapi harapan itu seakan hilang ditelan sunyinya ruangan tempat Eva terbaring. Ia menggengam jemari Eva sambil memejamkan mata utk beristirahat sebentar.
Sampai di apartemennya sudah jam sudah menunjukkan pukul 2, hari ini ada adik lelaki Eva yg berjaga di rumah sakit jadi ia bisa pulang ke apartemen beristirahat. Saat duduk di sofa, matanya tak sengaja menatap replika pedang yg dibelinya di Hua Lien dulu. Ia bangkit dari duduk dan berjalan mengambilnya dari gantungannya di dinding. Saat pedang bersentuhan dengan jemarinya, cahaya putih menyilaukan memancar dari pedang, sangat menyilaukan sekali sehingga Josh menutup matanya. Saat mata terbuka dia sudah berada di suatu tempat asing. Ia melihat diirinya dalam keadaan terikat sementara banyak orang mengelilinginya. Ada yang mendepak punggungnya dari belakang sehingga ia tersungkur mencium tanah berumput dihadapannya. Matanya tertuju ke gubuk di depannya. Seorang gadis berwajah mirip Eva namun berpakaian ala gadis dari Dinasti Tiongkok kuno terikat didalamnya sementara orang2 mulai membakar rumah itu. Lelaki yg berwajah mirip dirinya itu kaget dan berusaha mati2an utk bangun tapi tindihan kaki seorang pemuda yang kelihatan seperti kakaknya itu membuat dia tak berdaya.
“Kuan Jiang, kau masih membela gadis penyihir itu heh? Tidak takut nyawamu melayang?”
“Kakak, dia tak bersalah. Aku yang memaparkan semua ramalan itu, kesalahanku satu2nya adalah membiarkan dia menceritakannya shg kalian salah paham.”
“Jangan banyak alasan, diam dan pandang kekasihmu yg sesat itu utk terakhir kalinya.”
Saat kaki kakaknya diangkat utk menginjaknya kembali, Kuan Jiang berhasil berguling ke samping menuju pedangnya yg tertancap di tanah. Dengan sekali tendang dia berhasil menjauh dari kakaknya dalam keadaan duduk membelakangi pedang, punggungnya membentur mata pedang yang tertancap namun berhasil memutuskan tali yg mengikat kedua lengannya ke belakang. Kakaknya datang memburu kearahnya, namun sampai dihadapannya sudah telat. Pedang Kuan Jiang sudah menempel di leher kakaknya.
“Kalian semua manusia berhati binatang, mendekatlah maka pedangku akan mencicipi leher manusia kejam ini.”
Kuan Jiang sebenarnya tidak tega membunuh kakaknya, itu hanya sebagai gertakan bagi orang ramai termasuk ayahnya yang sudah bergegas mengepung, sekalian sebagai sandera utk memaksa orang2 mengeluarkan si gadis dari gubuk yang terbakar itu.
Tapi semua itu sudah terlambat, api sudah menjilat seluruh gubuk itu. Karena itu Kuan Jiang tak menghiraukan lagi kakaknya dan berlari menuju gubuk. Melihat pedang adiknya sudah berlalu dari lehernya, kakak yang kejam itu mengeluarkan 3 jarum beracun dari jubahnya dan di timpukkan kearah Kuan Jiang.
“Biarlah kalian mati bersama…” desis sang kakak.
Saat hampir memasuki gubuk yang terbakar hebat itu Kuan Jiang mendengar suara desing senjata rahasia menghampiri leher dan kepalanya, tanpa sempat menoleh lagi ia mengayunkan pedang ditangannya dgn meminjam tenaga jarum utk mementalkannya kembali. Ketiga jarum terpental kembali ke pemiliknya yang sama sekali tak menyangka, kakaknya terjatuh di tanah sambil meregang nyawa. Sang ayah terlambat menahan laju jarum dgn toyanya sehingga jarum menancap tepat di ubun2 sang kakak.
“Kuan Jiang, kamu anak durhaka berani membunuh kakakmu sendiri. Terkutuklah kamu dan gadis itu, kalian tak akan pernah bisa bersama selama 7 kali reinkarnasi” ayahnya berteriak sambil menangis menengadah menghadap langit.
Kuan Jiang terkejut bukan main saat tau kalau jarum itu berasal dari kakaknya. Hatinya hancur tak bersisa mendengar kutukan ayah yg dicintainya. Ia berbalik kembali ke arah gubuk, menyerbu kedalam dan memeluk Liang Xien. Ia segera melepaskan ikatan gadis itu.
“Kuan Ge, kenapa masih nekat menerobos masuk. Api sudah terlalu besar, kita tak bisa keluar lagi.”
“Liang er, maafkan kakakku yang telah mematahkan kakimu. Kalau kita tak bisa keluar maka marilah kita mati bersama…”
Kuan Jiang menghapus airmata Liang xien, walaupun airmatanya sendiri tak terbendung. Ia memeluk kekasihnya dengan penuh cinta.
“Kuan Ge, jikalau kita berpisah. Ingatlah hari-hari ketika kita mematri kenangan indah bersama. Jangan pernah bersedih atas kehilanganku, karena kepergianku tidak membawa pergi duniamu…”
Kuan Jiang melepaskan pelukan mendengar kata2 aneh itu. Baru saja ia hendak protes, dengan sepenuh tenaga Liang Xien mendorong kekasihnya itu sehingga terpental keluar dari gubuk.
“Liang er… mengapa engkau tega membiarkanku hidup sendiri” teriak Kuan Jiang sekeras2nya.
Begitu tubuhnya menyentuh tanah diluar, gubuk yang bernyala2 itu pun ambruk menimpa kekasihnya. Kuan Jiang berteriak seperti kesetanan melihat kematian kekasihnya yg tragis itu. Ia melompat tinggi sambil menghujamkan gagang pedangnya menembus tanah, sedangkan ia sendiri menjatuhkan diri terlentang dgn mengarahkan dadanya ke mata pedang yg berdiri vertikal itu. Mata pedang itu menghujam tepat didadanya saat tubuhnya mencium tanah. Orang ramai kaget dan berteriak melihat bunuh diri yang tragis itu.
bersambung…
Wuahh!! 😯 Kisah yang hebat ini bro. Mo dibikin novel kah? Imajinasinya mantap banget!!
*sembah CY*
@tukangkopi
He? jgn sembah gw dong, malu ah.. masih kalah jauh sama Cin Yung. Lagian kalo nyusun ide2 romantis kayaknya lebih jago ente 🙂
btw emang laris ya kalo dibikin novel? hihihi… (*narsis mode kumat*) 🙂